Dari Hutan Kulawi untuk Dunia: Ketika Kulit Kayu Berubah Jadi Dompet Stylish

Proses pembuatan kain kulit kayu khas Kulawi. (bmzIMAGES/basri marzuki)
Proses pembuatan kain kulit kayu khas Kulawi. (bmzIMAGES/basri marzuki)

pojokSIGI | Di tengah hiruk-pikuk industri fashion yang meninggalkan jejak karbon mengkhawatirkan, sebuah inovasi sederhana namun revolusioner lahir dari dataran tinggi Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Bukan dari kulit hewan atau bahan sintetis, melainkan dari kulit kayu yang selama ini hanya dikenal dalam ritual adat.

Nedya Sinintha Maulaning, Ketua Gampiri Interaksi Lestari, menggenggam selembar kain kulit kayu yang masih basah setelah proses fermentasi. Teksturnya kasar, berwarna cokelat alami, namun di matanya terpancar visi yang jauh lebih besar. “Ini bukan sekadar kain,” katanya sambil memperlihatkan hasil karya tangan mama-mama Kulawi. “Ini adalah masa depan fashion yang berkelanjutan.”

Warisan Leluhur yang Terlupakan

Jauh sebelum teknologi modern merasuki kehidupan masyarakat adat Kulawi, mereka sudah mengenal teknik mengolah kulit kayu menjadi kain. Pengetahuan ini diwariskan turun-temurun, dari nenek ke cucu, melalui tangan-tangan yang terampil dan hati yang sabar.

Prosesnya dimulai dari hutan adat Kulawi, di mana pohon nunu atau ivo tumbuh subur. Pengambilan kulit kayu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, mengikuti kearifan lokal yang menjaga keseimbangan ekosistem. Kulit kayu yang dipilih harus memenuhi kriteria khusus: tidak terlalu tua, tidak terlalu muda, dan diambil secara berselang-seling agar pohon tetap hidup.

“Nenek moyang kami mengajarkan bahwa hutan adalah rumah bersama,” tutur salah satu pengrajin yang enggan disebutkan namanya. “Kita boleh mengambil, tapi harus memberi kesempatan alam untuk pulih.”

Setelah dipanen, kulit kayu direbus dalam air mendidih, difermentasi selama beberapa hari, kemudian dipukul-pukul menggunakan alat tradisional bernama ike. Proses ini membutuhkan kekuatan fisik dan kesabaran luar biasa, karena setiap pukulan harus tepat agar serat kayu tidak rusak.

Dari Sakral Menuju Komersial

Selama berabad-abad, kain kulit kayu hanya digunakan untuk kegiatan adat atau upacara besar masyarakat Kulawi. Nilai sakralnya begitu tinggi sehingga tidak sembarangan orang boleh memakainya. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini perlahan mulai pudar.

“Anak-anak muda lebih tertarik pada produk modern. Mereka menganggap kain kulit kayu sebagai sesuatu yang kuno dan tidak praktis,” keluh Nedya. “Padahal, di balik kesederhanaan ini tersimpan nilai-nilai luhur yang tidak ternilai.”

Keprihatinan inilah yang mendorong Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Sigi untuk berinovasi. Mereka mulai mengembangkan produk turunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan modern, seperti tas dan dompet. Harapannya, kain kulit kayu tidak hanya dikenal sebagai simbol budaya, tapi juga sebagai komoditas bernilai ekonomi.

Revolusi Fashion dari Timur Indonesia

Ketika dunia fashion global sedang bergulat dengan krisis lingkungan, Indonesia justru memiliki jawaban yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Data PBB menunjukkan bahwa industri fashion bertanggung jawab atas 8-10 persen emisi global, bahkan lebih tinggi dari gabungan industri penerbangan dan shipping.

Dompet kain kulit kayu Sigi hadir sebagai antitesis dari industri fashion yang rakus sumber daya. Tidak ada mesin-mesin besar yang mengeluarkan asap, tidak ada bahan kimia berbahaya yang mencemari air, dan tidak ada eksploitasi pekerja. Yang ada hanyalah tangan-tangan terampil mama-mama Kulawi yang merajut masa depan dengan penuh cinta.

“Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengembangkan produk turunan yang lebih inovatif dan sesuai dengan tren pasar,” jelas Nedya. “Pendekatan kolaboratif dan berbasis kewirausahaan sosial menjadi strategi untuk merangkul masyarakat adat secara lebih efektif.”

Gerakan Besar dari Ujung Nusantara

Dompet kulit kayu Sigi bukanlah satu-satunya produk lokal yang berkomitmen pada kelestarian lingkungan. Di berbagai penjuru Indonesia, inovasi serupa bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.

Dari Sumba, Alwyn merekam perjuangan warga yang menanam mangrove sambil memproduksi sabun citronella. Sereh wangi yang ditanam sebagai bagian dari restorasi lahan pasca banjir bandang kini menjadi sabun Tumbavani yang wangi dan menyegarkan.

Di Kalimantan Barat, Yenni Angreni mengembangkan skincare Arcia dengan bahan-bahan endemik seperti tengkawang, minyak kemiri, dan lidah buaya. “Konsumen dapat mengecek langsung, apakah bahan yang kami gunakan memang alami,” tantang Yenni dengan percaya diri.

Sementara itu, dari hutan-hutan yang dikelola masyarakat, Foresta menghadirkan minyak atsiri yang telah tersertifikasi Wildlife Friendly. Setiap tetes minyak tidak hanya aman bagi manusia, tapi juga ramah bagi seluruh kehidupan yang berbagi ruang di hutan.

Masa Depan yang Berkelanjutan

Tenun ikat Dayak Iban dari Kapuas Hulu menggunakan pewarna alam yang diekstrak dari akar, kulit kayu, daun, bunga, dan buah-buahan hutan. Jika dahulu warna tenun didominasi merah bata, hitam, dan cokelat, kini cakrawala warna mulai melebar dengan biru, pink, hijau sage, hingga kuning mustard.

Di ujung timur Indonesia, tas rajut noken Papua hadir dalam berbagai model modern tanpa meninggalkan nilai budaya tradisional. Naomi Waisimon dari Ki.Basic bercerita, “Proses pembuatan satu tas noken berkisar antara satu hingga dua minggu, tergantung pada ukurannya. Para mama terlebih dahulu mencari kulit kayu di hutan, membuatnya menjadi helai-helai ‘benang’ kayu yang siap digunakan, baru kemudian merajutnya dengan cinta dan sukacita.”

Pilihan yang Menentukan Masa Depan

Ketika konsumen memilih dompet kain kulit kayu Sigi, mereka tidak sekadar membeli aksesori fashion. Mereka turut serta dalam gerakan besar untuk menyelamatkan planet, mendukung ekonomi masyarakat lokal, dan melestarikan budaya yang hampir punah.

“Ini adalah memoar aksi iklim dari timur Indonesia,” kata Ridwan Arif, Koordinator Program VCA Koaksi Indonesia. “Solusi iklim tidak selalu datang dari teknologi canggih, tetapi juga dari nilai, tradisi, dan keberanian komunitas.”

Di tangan para mama Kulawi, selembar kulit kayu berubah menjadi dompet yang tidak hanya cantik, tapi juga bermakna. Setiap jahitan menceritakan kisah tentang harmoni antara manusia dan alam, setiap motif melukiskan harapan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Inilah revolusi fashion yang sesungguhnya: bukan hanya tentang tampil cantik, tapi juga tentang bertanggung jawab terhadap bumi yang kita pijak. Dari hutan Kulawi untuk dunia, sebuah pesan sederhana namun kuat: fashion berkelanjutan bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *