Jembatan Gantung Harapan: Keteguhan Warga Tinggede-Kalukubula Merajut Impian

pojokSIGI | Langkah kaki Rahmawati terasa ringan sore itu. Setelah menunggu selama sepuluh tahun, akhirnya ia bisa kembali melintasi jembatan gantung yang menghubungkan kampung halamannya di Desa Tinggede dengan Desa Kalukubula. Jembatan dengan bentangan 115 meter itu kini mengayun pelan di atas sungai yang pernah melahap harapan mereka berkali-kali.
Tepat pada HUT ke-17 Kabupaten Sigi, Selasa (24 Juni 2025), jembatan gantung yang dibiayai APBD Kabupaten Sigi itu resmi dibuka kembali. Bukan pembukaan yang pertama, bahkan bukan yang kedua. Ini adalah kebangkitan ketiga setelah jembatan ini ambruk dua kali akibat bencana banjir – pertama pada 2013, kemudian lagi pada 2015.
“Waktu yang cukup lama bagi warga untuk menantikan kembali terhubungnya kedua desa ini,” gumam Rahmawati sambil menatap jembatan yang kini kokoh membentang. Terutama setelah hadirnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Taiganja Kalukubula yang terletak tepat di ujung jembatan gantung itu.

Sepuluh Tahun Menunggu
Perjalanan menuju jembatan baru ini tidaklah mudah. Selama sepuluh tahun, warga Desa Tinggede Kecamatan Marawola dan Desa Kalukubula Kecamatan Biromaru harus merelakan waktu dan tenaga ekstra untuk saling berkunjung. Jarak yang sebenarnya hanya beberapa ratus meter menjadi perjalanan panjang 10 kilometer jika harus memutar.
Bagi Rahmawati, yang gemar berolahraga di Taman Taiganja, perjalanan ke taman hijau itu menjadi petualangan tersendiri. “Kalau mau ke Taman Taiganja berolahraga, dulunya harus memutar ke Palu dulu baru bisa kesini,” kenangnya. Waktu tempuh yang seharusnya hanya 5 menit menjadi 20 menit perjalanan memutar.
Banjir 2013 dan 2015 tidak hanya menghancurkan struktur beton dan baja, tetapi juga memutus ikatan sosial antara dua desa yang sudah terjalin puluhan tahun. Anak-anak sekolah harus bangun lebih pagi, pedagang kehilangan pelanggan, dan keluarga yang terpisah sungai merasa semakin jauh.

Kebangkitan yang Ketiga
Kini, jembatan gantung sepanjang 115 meter itu sudah dibuka dan mulai dimanfaatkan kembali oleh para pejalan kaki dan sepeda motor. Meski mengayun ringan seperti umumnya jembatan gantung, warga tidak khawatir dengan konstruksi jembatan tersebut. Menurut mereka, kabel baja yang menopangnya cukup besar, ditambah dengan landasan beton dan rangka besi yang lebih kuat dari sebelumnya.
Pemerintah Kabupaten Sigi tampaknya telah belajar dari pengalaman pahit masa lalu. Konstruksi kali ini dirancang dengan standar yang lebih tinggi, mampu menahan debit air yang lebih besar, dan menggunakan material yang lebih tahan terhadap korosi.
“Kami optimis jembatan ini akan bertahan lebih lama,” ujar salah seorang pekerja konstruksi yang terlibat dalam pembangunan. “Designnya sudah diperbaiki, fondasinya lebih dalam, dan sistem drainase di sekitar jembatan juga diperbaiki.”
Akses Terbuka, Harapan Mengalir
Dengan dibukanya kembali jembatan gantung ini, waktu tempuh bisa dihemat hingga 30 menit untuk perjalanan antar desa. Lebih dari sekadar penghematan waktu, jembatan ini membuka kembali akses yang lebih mudah ke berbagai fasilitas publik, terutama RTH Taman Taiganja yang menjadi pusat kegiatan olahraga dan rekreasi warga.
Kini akses kedua desa makin terbuka. Anak-anak bisa bermain bersama lagi, pedagang bisa menjangkau pasar yang lebih luas, dan keluarga yang terpisah sungai bisa saling mengunjungi dengan lebih mudah.
Rahmawati tersenyum lebar sambil melangkah perlahan di atas jembatan yang bergoyang ringan. “Kalau mau ke Taman Taiganja berolahraga, makin mudah, cukup lewat dari jembatan ini,” katanya dengan nada gembira. “Sekarang bisa jogging sore ke taman, terus pulang lewat jembatan ini lagi.”

Simbol Keteguhan
Jembatan gantung Sigi ini lebih dari sekadar infrastruktur penghubung. Ia adalah simbol keteguhan warga yang tidak pernah menyerah meski berkali-kali dilanda bencana. Seperti jembatan yang bangkit untuk ketiga kalinya, semangat warga Sigi juga tidak pernah putus.
Di ujung jembatan, RTH Taman Taiganja Kalukubula tampak hijau dan asri. Taman yang menjadi salah satu kebanggaan warga Sigi itu kini semakin mudah diakses. Setiap pagi dan sore, warga dari kedua desa bisa berkumpul di sana, berolahraga, dan merajut kembali kebersamaan yang sempat terputus.
Ketika senja mulai turun, jembatan gantung itu tampak siluet kokoh di antara deru suara penambang pasir rakyat. Mengayun pelan diterpa angin sore, seolah mengingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali harapan dan tekad manusia untuk terus bangkit.
Rahmawati berjalan pulang dengan langkah ringan, hati penuh syukur. Sepuluh tahun menunggu akhirnya berbuah manis. Jembatan harapan telah kembali menghubungkan tidak hanya dua desa, tetapi juga hati dan mimpi warga Sigi yang sempat terpisah oleh bencana. (bmz)