Dari Legenda ke ‘Stunting’: Tragedi Ikan Mujair Danau Lindu

Legenda kuliner khas Sigi ini kini sulit ditemukan. Bukan hanya balita yang mengalami stunting di Kabupaten Sigi—ikan mujair Danau Lindu pun bernasib serupa
pojokSIGI | Fadlin masih ingat betul rasa gurih khas ikan mujair Danau Lindu yang dulu selalu ia nikmati setiap berkunjung ke destinasi wisata unggulan Sigi itu. Tekstur daging yang padat, rasa yang berbeda dari ikan mujair pada umumnya, dan ukuran yang cukup besar membuatnya menjadi incaran wisatawan.
Kini, anggota Komisi II Fraksi Gerindra DPRD Sigi itu hanya bisa bernostalgia. Saat Festival Danau Lindu 2025 digelar akhir Juli lalu, Fadlin mengaku kesulitan mendapatkan ikan mujair legendaris tersebut.
“Masih ada ikan mujair, tapi kecil-kecil. Saat ini sangat sulit mendapatkannya meski dalam ukuran sebesar empat jari saja. Sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Fadlin di sela-sela Festival Utadada, Sabtu (20/9/2025).
Yang lebih mengejutkan, Fadlin menggambarkan kondisi ikan mujair Danau Lindu saat ini dengan istilah yang mencengangkan: “stunting”. Ia menggunakan analogi ini ketika mendengar Bupati Sigi Mohamad Rizal Intjenae menyebut angka prevalensi stunting balita di wilayah Kabupaten Sigi meningkat menjadi 33 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 26,4 persen.
Dari Legenda ke Kelangkaan
“Bukan hanya balita yang mengalami stunting di Kabupaten Sigi, tapi juga dialami oleh ikan mujair di Danau Lindu,” kata Fadlin. “Tapi sekarang, ikan mujair Danau Lindu juga terkena stunting, besar di kepala tapi kecil di badan.”
Pernyataan yang terdengar hiperbolis ini sebenarnya mengandung keprihatinan mendalam. Dulu, ikan mujair Danau Lindu adalah primadona yang paling diburu wisatawan, selain panorama alam danau tektonik yang memukau dan keunikan buidayanya. Cita rasa khas dan gurih yang berbeda dengan ikan mujair dari wilayah lain membuatnya menjadi ikon kuliner Sigi.
Menurut Fadlin, kondisi ini terjadi karena tidak adanya manajemen perikanan terpadu di destinasi wisata unggulan tersebut. “Sesuai visi Bupati Sigi yang mengutamakan pertanian dan pariwisata sebagai prioritas pembangunan, maka seharusnya Danau Lindu itu menjadi perhatian,” jelasnya.
Pertanyaan retoris Fadlin kemudian menggugah: “Kalau tidak ada lagi ikan mujair di Danau Lindu, maka apa lagi selain panorama dan budayanya yang membuat orang mau datang ke Danau Lindu?”
Tiga Musuh Besar
Wakil Ketua Komisi II Fraksi PDIP DPRD Sigi, Jalil SP, memberikan analisis lebih teknis tentang kondisi Danau Lindu. Ia mengidentifikasi tiga tantangan besar yang dihadapi: eceng gondok, masalah pembenihan, dan kehadiran ikan predator.
Eceng gondok kini telah merebak luas di danau tektonik tersebut. “Nyaris tidak ada lagi sudut-sudut Danau Lindu yang tidak ditumbuhi oleh eceng gondok,” kata Jalil. Kehadirannya dipastikan mempersempit wilayah penangkapan dan merugikan masyarakat setempat.
Masalah kedua adalah terhentinya program penyebaran benih ikan mujair sejak bencana 2018 silam. Jalil memonitor bahwa sejak itu, belum pernah lagi ada instansi atau lembaga yang melakukan penyebaran benih ikan mujair sebagaimana sebelumnya.
“Jadi ini salah satu alasan mengapa ikan mujair di Danau Lindu terasa makin kurang. Ya bagaimana tidak, ikannya terus ditangkapi dan bibitnya tidak disebar, lama-lama akan habis,” tambahnya.
Tantangan ketiga adalah kehadiran ikan predator yang kini makin merajalela di danau tersebut. “Ini yang menghawatirkan karena kalau dibiarkan akan secara alami akan menghabisi ikan-ikan mujair yang ada di danau tersebut,” sebut Jalil.

Solusi di Tengah Krisis
Meski mengidentifikasi masalah yang kompleks, Jalil tidak sekadar mengeluh. Ia menawarkan solusi konkret, seperti pemanfaatan eceng gondok sebagai pupuk organik. “Kenapa tidak eceng gondok itu kita jadikan sebagai pupuk organik, teknologinya juga ada kok,” timpalnya.
Solusi ini sejalan dengan program pemerintah yang akan mencetak sawah baru dengan sistem organik. Dengan demikian, eceng gondok yang selama ini menjadi masalah bisa berubah menjadi berkah.
Untuk masalah pembenihan, Jalil menyoroti perlunya memaksimalkan peran Balai Benih Ikan (BBI) yang ada di wilayah tersebut. Ia juga menyebut tradisi “ombo” yang membatasi penangkapan di area tertentu, namun menurutnya hal itu tidak efektif karena hanya diberlakukan di titik tertentu saja.
Metafora yang Menggugah
Penggunaan istilah “stunting” untuk menggambarkan kondisi ikan mujair Danau Lindu oleh Fadlin memang menohok. Namun, metafora ini berhasil menggambarkan keprihatinan mendalam tentang degradasi kualitas dan kuantitas ikan yang menjadi ikon wisata kuliner Sigi.
Stunting pada balita menggambarkan kegagalan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis. Dalam konteks ikan mujair Danau Lindu, “stunting” ini bisa diartikan sebagai kegagalan ekosistem danau dalam mendukung pertumbuhan optimal ikan mujair akibat berbagai tekanan lingkungan dan manajemen yang tidak tepat.
Perlombaan dengan Waktu
“Kami di DPRD tentu akan mensupport upaya-upaya penanganan tersebut agar ikan mujair di Danau Lindu tidak ikut terkena stunting,” pungkas Jalil, mengadopsi istilah yang digunakan Fadlin.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kedua legislator tersebut menyadari urgensi masalah ini. Danau Lindu bukan sekadar objek wisata, tetapi juga sumber penghidupan masyarakat setempat dan bagian dari identitas kuliner Sigi.
Jika visi Bupati Sigi yang mengutamakan pertanian dan pariwisata ingin tercapai, maka penyelamatan ikan mujair Danau Lindu menjadi keniscayaan. Sebab, seperti yang dipertanyakan Fadlin: tanpa ikan mujair yang legendaris, apa daya tarik utama Danau Lindu selain panorama alam dan budayanya?
Waktu terus berjalan, dan setiap hari yang berlalu tanpa tindakan konkret adalah satu langkah menuju kepunahan total ikan mujair Danau Lindu. Saatnya menyelamatkan legenda sebelum ia benar-benar menjadi cerita masa lalu.
Karena pada akhirnya, stunting ikan mujair Danau Lindu adalah cermin dari stunting pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Sigi—di mana pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan gagal berjalan beriringan. (bmz)