Desa Kalukubula Bangun Benteng Lokal Melawan Kekerasan Seksual

pojokSIGI | Suasana hening menyelimuti ruang pertemuan Kantor Desa Kalukubula, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/7/2025) siang. Namun di balik keheningan itu, sedang berlangsung diskusi penting yang bakal mengubah wajah perlindungan masyarakat desa.
Ahlan Adjlan, Kepala Desa Kalukubula, duduk bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perwakilan Celebes Bergerak membahas satu hal yang krusial: bagaimana desa bisa menjadi benteng pertama dalam melindungi perempuan dan anak dari ancaman kekerasan seksual.
“Kami tidak bisa lagi hanya menunggu kasus terjadi, baru kemudian bertindak,” ujar Ahlan dengan nada tegas. Di hadapannya, sejumlah dokumen MoU siap ditandatangani sebagai langkah awal melahirkan peraturan desa (perdes) inisiatif pencegahan kekerasan seksual.
Angka yang Mengkhawatirkan
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah menjadi pengingat yang mengerikan. Sepanjang 2024, tercatat 516 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi representasi dari penderitaan ratusan korban yang sebagian besar adalah perempuan dan anak.
“Angka ini masih fenomena gunung es. Banyak kasus yang tidak dilaporkan karena stigma dan ketakutan korban,” jelas Slamet Tria, Wakil Ketua BPD Kalukubula. Pengalaman bertahun-tahun menjadi perwakilan masyarakat membuatnya paham betul bagaimana kekerasan seksual tidak hanya meninggalkan trauma pada korban, tapi juga merusak struktur sosial di masyarakat.
Dari Reaktif Menuju Preventif
Selama ini, penanganan kekerasan seksual masih bersifat reaktif – menunggu kasus terjadi baru kemudian mencari solusi. Paradigma inilah yang coba diubah oleh Desa Kalukubula melalui pendekatan preventif yang tertuang dalam perdes inisiatif.
“Regulasi di tingkat desa harus bisa menjadi pelindung pertama bagi kelompok rentan,” tegas Slamet. Menurutnya, desa memiliki kekuatan unik dalam hal kedekatan dengan masyarakat dan pemahaman terhadap dinamika lokal yang tidak dimiliki oleh regulasi di tingkat yang lebih tinggi.
Kolaborasi dengan Celebes Bergerak melalui program Gen-G menjadi katalis penting dalam proses ini. Organisasi ini membawa pengalaman dan metodologi yang telah terbukti efektif dalam berbagai daerah di Indonesia.
Lebih dari Sekadar Aturan
Bagi Ahlan, perdes yang akan lahir ini bukan sekadar kumpulan pasal dan ayat yang kering. “Ini adalah pernyataan sikap bahwa desa berpihak pada korban,” katanya. Dalam visinya, perdes ini akan menjadi “benteng lokal” yang tidak hanya mencegah kekerasan seksual, tapi juga membangun budaya pencegahan di masyarakat.
Konsep “benteng lokal” ini mencakup berbagai aspek: dari peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan sistem pelaporan, hingga pembentukan mekanisme perlindungan yang terintegrasi dengan sistem hukum yang ada.
Tantangan ke Depan
Meski langkah awal telah diambil melalui penandatanganan MoU, perjalanan menuju terwujudnya perdes pencegahan kekerasan seksual masih panjang. Sosialisasi kepada masyarakat, pembentukan struktur pelaksana, hingga penyiapan anggaran menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Namun, semangat yang terlihat di ruang pertemuan Kantor Desa Kalukubula hari itu menunjukkan bahwa perubahan sudah dimulai. Sebuah desa kecil di Sulawesi Tengah sedang berupaya memberikan teladan bagaimana perlindungan terhadap kekerasan seksual bisa dimulai dari tingkat yang paling dekat dengan masyarakat.
Ketika diskusi berakhir dan dokumen MoU telah ditandatangani, Ahlan menatap ke arah jendela kantornya. Di luar sana, kehidupan desa berjalan seperti biasa. Namun dengan langkah yang baru saja diambil, ia berharap kehidupan itu akan menjadi lebih aman, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang selama ini rentan menjadi korban kekerasan seksual. (bmz)