Mentimbe di Lindu, Ritual Adat yang Menembus Batas Hukum dengan Sertifikat KIK

Gubernur Sulteng Anwar Hafid (tengah) memegang lengan tetua adat ayang akan menyembelih kerbau pada upacara adat Mentimbe dalam rangkaian Festival Danau Lindu 2025 di Desa Tomado, Lindu, Sigi, Sulteng, Jumat (18/7/2025). (bmzIMAGES/basri marzuki)
Gubernur Sulteng Anwar Hafid (tengah) memegang lengan tetua adat ayang akan menyembelih kerbau pada upacara adat Mentimbe dalam rangkaian Festival Danau Lindu 2025 di Desa Tomado, Lindu, Sigi, Sulteng, Jumat (18/7/2025). (bmzIMAGES/basri marzuki)

Ketika selembar sertifikat diserahkan di tepi Danau Lindu malam itu, sejarah baru tercipta—tradisi yang pernah hampir dilupakan kini memiliki kekuatan hukum yang melindunginya hingga ke generasi mendatang


Ribuan pasang mata menyaksikan sebuah momen bersejarah. Bukan hanya karena Festival Danau Lindu 2025 dibuka dengan megah, tetapi karena sebuah tradisi yang telah berusia ratusan tahun akhirnya mendapat pengakuan resmi negara.

Jumat malam, 18 Juli 2025, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Tengah, Rakhmat Renaldy, menyerahkan selembar sertifikat yang nilainya tak terhingga kepada Bupati Sigi Mohammad Rizal Intjenae. Sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) untuk tradisi Metimbe—sebuah dokumen yang mengubah status ritual suci Suku Lindu dari sekadar warisan leluhur menjadi aset budaya yang dilindungi hukum.

Ketika Tradisi Bertemu Birokrasi

Perjalanan panjang menuju pengakuan ini tidak dimulai dari meja-meja pejabat, tetapi dari keresahan para tetua adat Lindu yang melihat tradisi mereka semakin terkikis zaman. Di era globalisasi, banyak ritual tradisional yang perlahan terlupakan, bahkan diklaim oleh pihak lain tanpa izin.

“Tradisi Metimbe merupakan kekayaan budaya luhur yang tidak hanya mencerminkan nilai-nilai adat istiadat masyarakat Suku Lindu, tetapi juga menyimpan potensi besar dalam pengembangan pariwisata berbasis budaya,” kata Rakhmat Renaldy dengan keyakinan. “Dengan disertifikasi sebagai Kekayaan Intelektual Komunal, negara hadir melindungi dan menjaga warisan ini untuk generasi mendatang.”

Kalimat itu bukan sekadar retorika. Di baliknya tersimpan pemahaman mendalam bahwa tradisi bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga investasi masa depan. Metimbe, yang selama ini hidup dalam kesederhanaan masyarakat Suku Lindu, kini memiliki nilai ekonomi dan budaya yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Metimbe: Lebih dari Sekadar Ritual

Untuk memahami mengapa Metimbe layak mendapat perlindungan hukum, harus dipahami esensinya. Ini bukan sekadar penyembelihan kerbau—banyak budaya di dunia memiliki tradisi serupa. Yang membuat Metimbe istimewa adalah filosofi dan tata caranya yang khas Suku Lindu.

Metimbe merupakan bagian integral dari perayaan adat Mangkodi Sangkoni—tradisi makan bersama hasil sembelihan yang dilakukan secara gotong royong. Setiap elemen dalam ritual ini memiliki makna simbolis yang mendalam: dari pemilihan kerbau, cara penyembelihan, hingga pembagian daging kepada seluruh komunitas.

Dalam pelaksanaannya, semua lapisan masyarakat—dari tokoh adat, tetua desa, hingga anak-anak—berperan aktif dalam setiap tahapan ritual. Inilah demokratisasi dalam bentuk paling murni, jauh sebelum konsep demokrasi modern dikenal dunia.

Kakanwil Kemenkum Sulteng Rakhmat Renaldy (kiri) menyerahkan sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal untuk tradisi Mentimbe kepada Bupati Sigi, Moh Rizal Intjenae pad apembukaan Festival Danau Lindu 2025 di Desa Tomad, Lindu, Sigi, Jumat (18/7/2025). (@Kemenkum Sulteng)
Kakanwil Kemenkum Sulteng Rakhmat Renaldy (kiri) menyerahkan sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal untuk tradisi Mentimbe kepada Bupati Sigi, Moh Rizal Intjenae pad apembukaan Festival Danau Lindu 2025 di Desa Tomad, Lindu, Sigi, Jumat (18/7/2025). (@Kemenkum Sulteng)

Dari Lindu ke Panggung Dunia

Bagi masyarakat di Lindu dan sekitarnya, Metimbe adalah bagian dari kehidupan spiritual mereka, cara berkomunikasi dengan leluhur, dan mekanisme menjaga kohesi sosial. Tetapi kini, dengan sertifikat KIK di tangan, Metimbe memiliki potensi untuk dikenal dunia.

“Tradisi Metimbe adalah identitas kultural masyarakat kami,” kata Bupati Sigi Mohammad Rizal Intjenae dengan mata berbinar. “Dengan adanya pengakuan resmi ini, kami semakin percaya diri dalam mengangkat kekayaan budaya lokal ke panggung nasional bahkan internasional.”

Pernyataan Bupati Rizal itu bukan mimpi kosong. Di era ekonomi kreatif, tradisi autentik memiliki daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Metimbe dapat menjadi magnet wisata budaya yang tidak hanya mendatangkan devisa, tetapi juga memperkuat identitas lokal.

Dilema Komersialisasi vs Sakralitas

Namun, pengakuan resmi ini juga membawa dilema baru. Bagaimana menyeimbangkan antara pemanfaatan ekonomi dengan menjaga sakralitas ritual? Bagaimana memastikan bahwa komersialisasi tidak menggerus makna spiritual yang telah terjaga ratusan tahun?

Inilah tantangan yang kini dihadapi masyarakat Suku Lindu. Mereka harus belajar menjadi “penjaga gerbang” tradisi mereka sendiri—membuka diri untuk berbagi dengan dunia luar tanpa kehilangan jiwa dari tradisi itu sendiri.

Sertifikat KIK memberikan mereka kekuatan hukum untuk mengatakan “tidak” terhadap penyalahgunaan atau distorsi tradisi Metimbe. Jika ada pihak yang ingin menggunakan nama atau elemen dari Metimbe untuk kepentingan komersial tanpa izin, masyarakat Suku Lindu kini memiliki payung hukum untuk melindungi diri.

Tari Raego mengawali ritual Mentimbe. (bmzIMAGES/basri marzuki)
Tari Raego mengawali ritual Mentimbe. (bmzIMAGES/basri marzuki)

Preseden untuk Tradisi Lainnya

Keberhasilan sertifikasi Metimbe membuka jalan bagi tradisi-tradisi lain di Sulawesi Tengah. Kemenkum Sulteng menyatakan akan terus mendampingi kabupaten/kota lainnya untuk melakukan inventarisasi dan pengajuan sertifikasi terhadap berbagai ekspresi budaya lainnya.

Ini adalah revolusi sunyi dalam pelestarian budaya Indonesia. Jika selama ini tradisi hanya dilindungi oleh kesadaran moral masyarakat, kini ada kekuatan hukum yang memayunginya. Tradisi tidak lagi rentan terhadap klaim sepihak atau eksploitasi tanpa batas.

Gubernur sebagai Saksi Sejarah

Kehadiran Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid dalam penyerahan sertifikat ini bukan sekadar formalitas. Ia adalah saksi sejarah bagaimana sebuah daerah berkomitmen melindungi warisan budayanya.

Dalam sambutannya, Gubernur mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga dan merawat tradisi sebagai warisan tak ternilai. Pesan ini penting karena sertifikat saja tidak cukup—yang terpenting adalah komitmen berkelanjutan untuk melestarikan tradisi dalam kehidupan sehari-hari.

Festival sebagai Panggung Pengakuan

Pemilihan Festival Danau Lindu 2025 sebagai momen penyerahan sertifikat bukan kebetulan. Festival ini adalah manifestasi nyata bagaimana tradisi dapat dikemas menjadi daya tarik wisata tanpa kehilangan esensinya.

Selain menampilkan upacara Metimbe, festival ini juga diramaikan pertunjukan seni tradisional, pameran produk lokal, kuliner khas, serta kegiatan edukatif tentang pelestarian lingkungan dan budaya. Ini adalah model ideal integrasi antara pelestarian budaya dengan pengembangan ekonomi kreatif.

Kerbau yang telah disembelih digotong untuk dipersiapkan disantap bersama. (bmzIMAGES/basri marzuki)
Kerbau yang telah disembelih digotong untuk dipersiapkan disantap bersama. (bmzIMAGES/basri marzuki)

Masa Depan Metimbe

Dengan sertifikat KIK di tangan, masa depan Metimbe terlihat cerah. Tradisi yang pernah hanya dikenal di sekitar Danau Lindu kini berpotensi menjadi ikon budaya Sulawesi Tengah, bahkan Indonesia.

Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai. Bagaimana memastikan bahwa generasi muda Suku Lindu tetap memahami dan mempraktikkan Metimbe? Bagaimana menjaga keseimbangan antara keterbukaan dengan pelestarian? Bagaimana memastikan bahwa manfaat ekonomi dari tradisi ini dapat dinikmati oleh seluruh komunitas, bukan hanya segelintir orang?

Pelajaran dari Tepi Danau Lindu

Ketika malam itu berakhir dan ribuan orang mulai beranjak pulang dari tepi Danau Lindu, yang tertinggal bukan hanya kenangan indah tentang sebuah festival. Yang tertinggal adalah pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah komunitas dapat mempertahankan identitasnya sambil beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sertifikat KIK untuk Metimbe adalah simbol—simbol bahwa tradisi dan modernitas tidak harus berhadap-hadapan. Keduanya dapat berdampingan, bahkan saling memperkuat, jika dikelola dengan bijaksana.

Malam itu, di bawah langit Lindu yang penuh bintang, sebuah tradisi menemukan perlindungan hukumnya. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, ketika seorang anak dari benua lain datang ke Danau Lindu dan menyaksikan upacara Metimbe, ia akan tahu bahwa yang dilihatnya bukan hanya ritual kuno, tetapi warisan budaya yang dilindungi hukum internasional.

Dari ritual sakral di desa terpencil menuju pengakuan dunia—itulah perjalanan Metimbe. Dan perjalanan itu, baru saja dimulai.


Laporan basri marzuki dari Festival Danau Lindu 2025, Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *