Ritual Mentimbe: Ketika Darah Kerbau Menjadi Simbol Penyambutan di Tanah Lindu

Di bumi To Lindu, kedatangan tamu bukan sekadar disambut dengan senyuman, tetapi dengan ritual suci yang telah berlangsung ratusan tahun
Desa Tomado tenggelam dalam keheningan yang berbeda pada Jumat (18/7/2025) pagi. Bukan kesunyian biasa yang menyelimuti pegunungan bagian selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tetapi keheningan yang sarat makna—keheningan menjelang sebuah ritual suci yang tidak sering disaksikan mata luar.
Tatkala matahari baru saja menyembul dari balik Gunung Nokilalaki ketika warga To Lindu mulai bersiap. Hari itu, tanah leluhur mereka dikunjungi para tamu istimewa: Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng Anwar Hafid dan Reny A. Lamdjido, Asisten Deputi Event Daerah Kemenparekraf Reza Pahlevi, serta sejumlah pejabat Provinsi Sulteng dan sejumlah tamu dari berbagai daerah.
Yang membuatnya istimewa bukanlah status para tamu, tetapi fakta bahwa sebagian besar dari mereka akan menginjakkan kaki di tanah Lindu untuk pertama kalinya. Dan dalam tradisi To Lindu, kedatangan tamu pertama kali memiliki makna yang sangat dalam—sebuah momen yang harus dirayakan dengan upacara adat Mentimbe.
Ritual yang Tak Sering Terlihat
“Ini tidak sering dilakukan, hanya dalam waktu-waktu tertentu,” kata salah seorang tetua adat dengan mata yang berbinar. Kalimat sederhana itu menyimpan kesakralan yang telah terjaga ratusan tahun.
Mentimbe—penyembelihan kerbau sebagai ungkapan rasa gembira, bahagia, dan syukur—bukan sekadar tradisi. Ini adalah jiwa To Lindu yang dituangkan dalam ritual. Sebuah cara mereka mengungkapkan penghargaan tertinggi kepada tamu yang datang dari jauh.

Persiapan telah dimulai sejak subuh. Para perempuan menyiapkan kostum adat, para lelaki mempersiapkan kerbau pilihan, dan para tetua bermusyawarah tentang jalannya upacara. Semuanya dilakukan dengan seksama, karena kesempurnaan ritual adalah bentuk penghormatan kepada leluhur dan tamu.
Ketika para tamu tiba, yang pertama menyambut bukanlah kata-kata, tetapi gerakan. Tari Meaju—tari penyambutan khas To Lindu—menjadi pembuka ritual yang sakral. Para penari bergerak dengan lincah dan dinamis, seolah tanah di bawah kaki mereka adalah altar suci yang harus dipijak dengan penuh hormat.
Gerakan demi gerakan tari Meaju bukan sekadar estetika, tetapi bahasa—bahasa yang mengatakan “kalian diterima di sini, kalian adalah bagian dari kami.” Setiap langkah kaki, setiap ayunan tangan, setiap tatapan mata adalah kalimat dalam bahasa tubuh To Lindu yang berkata: “Selamat datang di rumah kami.”
Setelah tari Meaju usai, ritual berlanjut dengan pemasangan Siga—tutup kepala tradisional—kepada para tamu. Siga bukan sekadar aksesori, tetapi simbol penerimaan. Ketika Siga dikenakan di kepala seseorang, artinya ia telah diterima sebagai bagian dari komunitas To Lindu, setidaknya untuk hari itu.
Setelah para tamu naik ke panggung utama, suasana berubah. Dari kegembiraan penyambutan, kini berganti menjadi kekhusyukan ritual. Seekor kerbau—yang telah dipilih hari-hari sebelumnya—ditarik ke tengah lapangan.
Tapi sebelum guma atau parang diayunkan, ada ritual lain yang harus dilakukan: tari Raego. Berbeda dengan Meaju yang penuh kegembiraan, Raego adalah tari sakral dengan lirik dan syair yang khas. Sejumlah remaja putri bergerak berpasangan, mengelilingi kerbau yang telah diikat dengan gerakan memutar yang hipnotis.
Sesekali, mereka menghentakkan kaki ke tanah. Bukan sekadar gerakan tari, tetapi cara berkomunikasi dengan roh leluhur, memberitahu mereka bahwa ritual Mentimbe akan segera dimulai. Setiap hentakan kaki adalah doa, setiap putaran tubuh adalah permohonan berkat.
Dalam sunyi yang hanya dipecah lantunan syair Raego, waktu seolah terhenti. Para tamu, meskipun berasal dari dunia modern, ikut terlarut dalam kekhusyukan ritual yang telah berusia ratusan tahun itu.
Momen Sakral: Ketika Darah Mengalir
Puncak upacara tiba. Gubernur Sulteng Anwar Hafid didapuk untuk mendampingi tetua adat yang telah menghunus parangnya. Bukan untuk ikut menyembelih—karena itu adalah hak prerogatif tetua adat—tetapi sebagai saksi dan penerima berkah dari ritual tersebut.
Parang tajam di tangan tetua adat berkilat di bawah sinar matahari pagi. Sejenak, ia memejamkan mata, berdo’a dalam hati, memohon kepada Yang Mahakuasa dan arwah leluhur agar ritual ini membawa berkah bagi semua yang hadir.
Kemudian, dalam satu gerakan yang cepat dan tepat, parang itu melayang. Darah menyembur dari leher kerbau, mengalir ke tanah Lindu yang telah menyaksikan ritual serupa ratusan kali selama berabad-abad.
Darah itu bukan hanya darah. Dalam kosmologi To Lindu, itu adalah simbolisasi kehidupan yang dipersembahkan, ungkapan syukur yang paling tinggi, dan jembatan komunikasi antara dunia nyata dengan dunia leluhur.

Filosofi di Balik Ritual
Saat kerbau telah dipotong dan digotong warga untuk dipersiapkan konsumsi bersama, tetua adat itu menjelaskan filosofi di balik Mentimbe dengan mata yang penuh hikmat.
“Upacara ini sekaligus menjadi simbol keterbukaan warga Lindu atas orang-orang dari luar,” katanya. “Bagi warga Lindu, orang yang datang ke Lindu adalah sebuah kehormatan dan sepatutnya dihargai.”
Kalimat itu mengandung filosofi yang mendalam tentang hospitalitas To Lindu. Mereka tidak mengenal konsep “orang asing” dalam arti negatif. Yang ada hanya “tamu yang belum dikenal” dan “tamu yang sudah dikenal.” Semua tamu, siapapun mereka, akan diterima dengan baik.
“Siapapun kita akan diterima dengan baik dan rasa senang,” lanjut tetua adat tersebut, “yang penting adalah mengikuti aturan-aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di wilayah ini.”
Syarat itu bukan eksklusivitas, tetapi upaya menjaga keharmonisan. To Lindu percaya bahwa keharmonisan hanya bisa tercapai jika semua orang—penduduk asli maupun pendatang—mematuhi aturan yang sama.
Menjaga Warisan di Tengah Perubahan Zaman
Lindu adalah salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih mempertahankan hukum-hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital ini, ketika banyak komunitas tradisional mulai meninggalkan warisan leluhur, To Lindu justru semakin teguh mempertahankannya.
Berbagai tradisi dan kearifan lokal masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari warga setempat. Ada permusyawaratan adat yang merumuskan aturan-aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan beserta sanksi-sanksinya. Tidak terkecuali aturan-aturan yang terkait dengan menjaga keseimbangan alam.
Bagi To Lindu, adat bukan belenggu, tetapi panduan hidup. Bukan penghalang kemajuan, tetapi filter yang memastikan kemajuan tidak menghancurkan nilai-nilai luhur yang telah terbukti menjaga keharmonisan selama berabad-abad.
Mentimbe sebagai Jembatan
Ketika upacara Mentimbe berakhir dan kerbau telah diolah menjadi santapan bersama, yang tersisa bukan hanya kenyang perut, tetapi kenyang jiwa. Para tamu dari dunia modern telah menyaksikan sebuah ritual yang mengingatkan mereka pada nilai-nilai yang hampir terlupakan: penghormatan, kebersamaan, dan syukur.
Bagi To Lindu, Mentimbe bukanlah pertunjukan untuk wisatawan, tetapi bagian integral dari kehidupan mereka. Ritual ini adalah jembatan—jembatan antara dunia leluhur dengan dunia modern, antara tradisi dengan perubahan, antara To Lindu dengan dunia luar.
Dan ketika Festival Danau Lindu 2025 resmi dibuka malam harinya, para tamu yang telah “dibaptis” oleh ritual Mentimbe pagi itu memiliki perspektif yang berbeda. Mereka tidak lagi melihat Lindu sebagai sekadar destinasi wisata, tetapi sebagai rumah spiritual yang telah menerima mereka dengan tangan terbuka.
Dalam darah kerbau yang telah mengalir ke tanah Lindu pagi itu, tersimpan pesan yang sederhana namun mendalam: di dunia yang semakin individualistis ini, masih ada tempat di mana kedatangan orang asing disambut dengan penyembelihan hewan terbaik mereka.
Laporan basri marzuki dari Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi