Utadada dan Mimpi Besar di Balik Festival Makanan Khas Tradisional Sigi

Bagaimana sebuah festival sederhana dengan anggaran minim berhasil memadukan kuliner tradisional, layanan publik, dan harapan masyarakat
pojokSIGI | Pagi itu, Ramlah sudah bersiap sejak pagi. Dari Palu menempuh perjalanan menuju Desa Binangga, Marawola, Sigi. Tujuannya sederhana: mencicipi utadada—makanan tradisional khas Suku Kaili yang terbuat dari ayam bakar yang dimasak Bersama santan dan rempah.
“Saya pecinta utadada sejak kecil. Waktu dengar ada festival khusus utadada, saya langsung excited. Bayangan saya, pasti ada banyak varian dan pilihan,” kata Ramlah sambil menyeka keringat di bawah terik matahari Sabtu (20/9/2025).
Namun, ekspektasi dan realitas kadang tak sejalan. Di Ruang Terbuka Hijau Taman Asmaul Husna yang menjadi lokasi Festival Kuliner Tradisional Utadada, Ramlah hanya menemukan lima stan makanan. Utadada yang dipromosikan gratis pun sudah habis ketika dia mendekat.
“Agak kecewa sih, tapi tetap apresiasi usahanya,” ujar Ramlah dengan senyum pahit.
Konsep Besar di Balik Anggaran Kecil
Cerita Ramlah adalah salah satu potret dari Festival Kuliner Tradisional Utadada yang digelar Dinas Pariwisata Kabupaten Sigi. Festival pertama ini memang penuh paradoks: ekspektasi besar dengan anggaran minim, konsep ambisius dengan pelaksanaan sederhana.
Ketua Panitia Sakinatul Qulub, yang juga Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Sigi, mengakui festival ini lahir dari impian besar. “Kami ingin menciptakan ruang yang inklusif—tidak hanya hiburan, tapi juga edukatif dan fungsional,” jelasnya.
Konsep “all in one” ini memang terwujud. Selain stan kuliner dari lima desa—Binangga, Padende, Porame, Balane, dan Sibedi—festival juga menghadirkan senam Zumba, aksi 1.000 bendera pelajar, wisata jelajah alam, hingga berbagai layanan publik.
Di pojok taman, petugas Satlantas Polres Sigi melayani pembuatan SIM dan pembayaran pajak kendaraan dengan bus bergeraknya. Tak jauh dari sana, petugas Kementerian Hukum membantu UMKM mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual. Sementara stan Dinas Dukcapil dipadati warga yang ingin mengurus KTP dan Kartu Keluarga.
“Festival ini jadi one stop service. Orang datang untuk kuliner, tapi bisa sekalian mengurus dokumen penting,” ujar Sakinatul bangga.
Apresiasi dari Kursi Kepala Daerah
Bupati Sigi Mohamad Rizal Intjenae tiba ketika acara sudah berjalan beberapa jam. Pria yang akrab disapa Bupati Rizal ini langsung menuju meja utadada yang sudah tersaji khusus untuknya.
“Ini yang saya harapkan dari sebuah festival—berbiaya rendah tapi berimbas besar,” kata Bupati sambil mencicipi utadada. “Setahu saya anggarannya cuma Rp10 juta, tapi bisa semeriah ini.”
Angka Rp10 juta itu memang mencengangkan. Bandingkan dengan festival-festival besar lainnya yang biasanya menghabiskan ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Namun, di balik efisiensi anggaran ini, ada kerja keras dan kreativitas panitia.
“Kami manfaatkan gotong royong masyarakat, kerjasama dengan berbagai instansi, dan memanfaatkan fasilitas yang sudah ada,” jelas Sakinatul.
Bupati Rizal bahkan berkomitmen menjadikan festival ini agenda tahunan. “Tahun depan semoga bisa lebih besar lagi, dan yang penting, lebih banyak UMKM yang terlibat.”

Suara dari Akar Rumput
Namun, di balik apresiasi pemerintah, suara-suara kritis dari masyarakat tak bisa diabaikan. Muhlis, warga Binangga yang menyaksikan festival dari awal hingga akhir, punya pandangan berbeda.
“Konsepnya bagus, tapi eksekusinya masih setengah-setengah,” kata pria berumur 45 tahun ini. “Utadada itu makanan keseharian kami. Hampir semua ibu rumah tangga di sini bisa membuatnya. Kenapa tidak semua dilibatkan?”
Pertanyaan Muhlis mengena. Di lima desa yang terlibat, ada ratusan keluarga yang menguasai resep utadada turun-temurun. Namun, hanya segelintir yang berkesempatan berpartisipasi dalam festival.
“Tidak ada orang di sini yang tidak tahu bikin utadada. Kalau mereka semua dilibatkan, festival ini pasti luar biasa—banyak pilihan, banyak varian, dan daya tariknya makin tinggi,” imbuh Muhlis.
Rahman, tetangga Muhlis, bahkan punya ide lebih radikal. “Seharusnya festival ini digelar di pematang sawah atau hamparan terbuka. Bayangkan, pengunjung bisa melihat langsung pohon kelapa sumber bahan utadada, sambil menikmati pemandangan persawahan.”
Pembelajaran untuk Masa Depan
Kritik-kritik ini tidak mengecilkan pencapaian festival. Bagi Desa Binangga dan sekitarnya, ini adalah momen bersejarah. Untuk pertama kalinya, kuliner tradisional mereka menjadi pusat perhatian dalam sebuah acara resmi.
Siti Aminah, salah warga Desa Sibedi bahkan menganggap festival ini sebagai berkah. “Saya jadi lebih percaya diri dengan masakan tradisional kami. Siapa tahu ke depannya bisa jadi usaha yang lebih besar,” katanya.
Panitia mengaku mencatat semua masukan dan kritik. “Ini pertama kalinya kami menggelar festival seperti ini. Segala kekurangan akan jadi bahan evaluasi untuk tahun depan.”
Beberapa pembelajaran sudah mulai teridentifikasi: perlu keterlibatan UMKM yang lebih luas, persiapan stok yang lebih memadai, dan mungkin pemilihan lokasi yang lebih strategis.
“Yang penting, antusiasme masyarakat sudah terbangun. Ini modal besar untuk festival-festival berikutnya,” tambahnya optimis.
Utadada sebagai Simbol
Festival Kuliner Tradisional Utadada, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sebenarnya merefleksikan kondisi Indonesia secara umum. Ada semangat besar untuk melestarikan tradisi, kreativitas dalam keterbatasan anggaran, namun juga tantangan dalam pelaksanaan yang melibatkan banyak pihak.
Utadada sendiri menjadi simbol yang tepat. Sederhana dalam bahan, namun kaya akan makna budaya dan sejarah.
“Ya sudahlah, tahun depan saya datang lagi. Mudah-mudahan lebih seru,” katanya sambil tersenyum.
Dan mungkin, inilah yang paling berharga dari festival Rp10 juta itu: harapan bahwa tahun depan akan lebih baik, dan tradisi utadada akan terus hidup di tengah arus modernisasi.
Karena pada akhirnya, festival ini bukan hanya soal makanan. Ini tentang mempertahankan identitas, membangun komunitas, dan membuktikan bahwa dengan kreativitas, anggaran kecil pun bisa bermimpi besar. (bmz)